Meskipun memantik reaksi penolakan berbagai pihak, namun rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025, tetap akan diberlakukan, bahkan kebijakan Pemerintah untuk memberikan stimulus dan kompensasi bagi masyarakat rentan tak menyurutkan keberatan publik.
Publik tentu memiliki banyak alasan untuk terus menyuarakan keberatannya terhadap kenaikan PPN dari 11 % sekarang ini menjadi 12 % di awal tahun 2025 yang mayoritas dikenakan pada barang konsumsi sehari-hari masyarakat yang selama ini sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok, sehingga pengecualian yang masih samar untuk barang dan jasa yang dinilai sebagai kebutuhan pokok, pun tak mampu meredakan keresahan publik.
Publik memang mungkin tidak perlu terlalu resah dengan rencana penerapan kenaikan PPN 12 % di awal tahun 2025, namun kritik ataupun pertimbangan dan keresahan publik, selayaknya mendapat empati dari penentu kebijakan yang diharapkan memiliki “kemauan” mengadaptasi secara komprehensif amanat Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang dijadikan sandaran fundamental menaikkan PPN menjadi 12 %.
Jalan penyesuaian masih terbuka lebar di tengah rintihan publik menyambut kenaikan PPN, landasan konstitusi yang menjadi pijakan, tetap menyediakan ruang lapang untuk menemukan rangkaian pengaturan amanat yang tidak hanya fokus pada jadwal penaikannya semata.
Memang pada Pasal 7 UU HPP ayat (1) mengatur jadwal penaikan PPN, yang menjadi 11% per 1 April 2022, naik ke 12% paling lambat 1 Januari 2025. Namun pada pasal yang sama ayat (3) dan ayat (4), tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15%.
No comments yet.